Kutulis apa yang aku rasa dan apa yang sedang aku pikir dalam kesendirianku pada era reformasi diawal abad globalisasi yang seakan memberi harapan pencerahan, namun ironi bagi bangsa dan negeriku atas pusaran keterpurukan yang berlanjut di dalam tubuh ibu pertiwiku, yang terkoyak-koyak oleh suatu aura batin gaib kegelapan yang menerjang jiwa dan tubuh bangsaku.

Didasarkan oleh kebebasan alam pikirku yang serba tidak percaya (skeptis) dalam kesangsian pengamatanku, maka ku coba beranjak dari hal yang abstrak religius menuju suatu konstruksi analitis yang munkin bisa dicerna oleh daya akal budi kaum muda sebagai pewaris bangsaku. Kita memerlukan instrumen analitis untuk segera bersama-sama secara terpadu, demi memecahkan aneka batin gaib kegelapan melalui metode analisis pemikiran baru.

Mari kita otak-atik agar gathuk lan mathuk bersama roh spiritual yang melingkupi keyakinan dan pemahaman agama (milik kita sendiri) terhadap makhluk. Supranatural (Illah-Illah, Tuhan-Tuhan, Dewa-Dewi dst) yang mencipta dan mengatur kendali hidup semua hal di atas bumi, yang mana berdiam di atas langit (persepsi kita yang terlahir secara turun-temurun). Agama adalah cara pandang dalam pemahaman dan penghayatann rasa batin orang-orang maupun dalam diri kita sendiri akan hal-hal magis, ajaib, misteri, dari rahasia langit yang bersifat imaterial. Pemahaman agamis yang serba misteri dan penuh keajaiban alam roh, yang kesemuanya bisa diyakini oleh “mata batin” namun sulit di pikir berdasarkan proses kausalitas terjadinya oleh daya keterbatasan akal budi kita.

Dapat dimaklumi dari pendekatan pragmatisme, bahwa agama apapun dalam kehidupan manusia sangat bernilai dan bahkan benar, apabila agama itu melayani kebutuhan dengan memberi kesenangan dan keamanan, keyakinan, kelegaan dan semangat serta kerja sama dan keberanian. Maka pikiran manusia di selubungi oleh ide, cita-cita tentang hal-hal magis, harapan, impian dari kepercayaan terhadap roh-roh , Illah-Illah yang berasal dari agama. Keyakinan agamis tak lepas dari perubahan atau evolusi sosial akan ketakhayulan yang telah berjasa (bermanfaat) dalam memberi rasa aman, ketata-tertiban pemerintahan adaptasi, pun berguna bagi memperkuat ikatan dan kelangsungan (kontinuitas) masyarakat negeri yang bernilai guna serta kemanfaatan keyakinan agamis yang amat besar, terutama bagi para elit penguasa demi kelanggengan kekuasaan di masa jaman kuno (dahulu), maupun bagi rezim-rezim otoriter agamis dimasa kini.

Bahkan dalam pandangan pragmatisme, bahwa agama dibentuk oleh pikiran kita, orang pada suatu kekuatan roh Illahi di luar wujud diri, tetapi Dia semata pikiran yang ada dalam diri. Lebih lanjut dalam kritik terhadap agama apapun, bahwa pertama-tama agama tumbuh dari kondisi kesadaran “rasa aman” sebagai representasi kultural atau budaya. Di balik itu ada anggapan, bahwa kepercayaan akan roh illah agama apapun adalah ilusi yang menopengi dan memboncengi kepentingan manusia yang sebenarnya, yakni “kehendak yang kuasa” dan dengan itu maka agama adalah pencerminan personifikasi kehendak pikiran manusia “pintar” akan kekuatan roh alam yang serba berkuasa, bahkan “Yang Maha Kuasa” dan wajib disembah dalam ketaklukan atau takwanya terhadap Sang Penguasa Alam.

Demi kehendak berkuasa dan demi kepentingan para elit raja-raja, guru, dukun spiritual, nabi-nabi, ulama dan sebagainya. Mereka dapat memanfaatkan segala “kekuasaan” roh batin gaib dari Sang Terang ataupun dari Sang Gelap. Tentang dampak resikonya dapat dilihat atau dinilai dari parameter buahnya, yaitu sing becik ketitik ala ketara. Roh batin gaib dari Sang Terang dan Sang Gelap keduanya setara dan penuh misteri. Bagi “kehendak yang berkuasa” roh Sang Gelap dapat di deteksi dari buahnya, yaitu menyelami misteri kerahasiaan dari pembusukan hati, serakah, benci, cemburu, murka, perilaku kelahi, angkuh hati, atau sombong, tak setia, dendam, benci, tak mengampuni, aneka hal kriminal yang menyengsarakan.

Anehnya sikap dan perilaku rivalitas atau perlawanan permusuhan agamis dunia selama berpuluh-puluh abad dan bergenerasi hingga sekarang ini, termasuk membanjiri di halaman desa, kota kita, banyak diwarnai oleh pola dan tendensi perilaku negatif, yang diskriminatif, amoral dan rebutan “kebenaran agama Allah yang mana paling benar dan paling berkuasa”. Maraklah perilaku emosionalitas Sang Gelap yang berbeda jauh dari subtansi roh keluhuran/ kesucian/ kedamaian / pengampunan dari roh Sang Terang yaitu intelegensi universal. Itu berarti bahwa para elit agama (bagaikan aktor intelektual) bersama umatnya dalam ketaklukannya menghambakan diri kepada batin gaib kegelapan.

Kesemua hal yang bersangkutan dengan misteri roh kegelapan selalu di sangkut pautkan dengan kekuatan magis/abstrak apalagi atas kaitan “absolutisme agamis” akan lebih membawa bangsa ini ke dalam “kabut” struktur pembusukan rasionalitas bagi rakyat. Bagi kita sendiri yang sadar punya otak sekali pun, juga sulit untuk memahami hal-hal yang konkrit nyata (indrawi). Kesulitan memahami realitas multidimensi kepurukan pada pengalaman kesulitan/ derita hidup negeri ini, selalu dalam tragedi tragis bergenerasi terus-menerus, tanpa henti berpuluh-puluh tahun (biarpun kita punya ribuan pakar ilmu dan ulama, agamawan yang canggih sekalipun).
Bangsa kita selalu dalam kabut kegelapan oleh pemahaman tentang hal-hal misteri penuh keajaiban alam, yang mana dirupakan oleh aneka makhluk serba magis bersifat imaterial di luar kesadaran akal/otak rasional kita, seperti misteri kehebatan magis tanpa tertandingi akan adanya kekuatan dari Illah-Illah, Dewa-Dewa, Makhluk gaib, Tuhan-Tuhan, Malaikat. Yangmana kekuasaan “makhluk roh” tersebut dalam keabadiannya ikut mengatur, mengendalikan takdir hidup negeri ini, yang selalu terpuruk oleh keterselubungan nafsu kepentingan agamis para elit kita.

Agama adalah buah dari hasil perenungan, pemahaman pikir manusia pintar (para dukun-dukun, ulama-ulama, pujangga, pandita, wali, nabi-nabi) kuno di jaman ribuan tahun yang lalu, yang mengatas-namakan kuasa dari para Dewa, Tuhan, Allah yang mereka sembah dalam iman dan takwanya. Pemahaman agamis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum nabi-nabi utusan Allah (batin gaib para nomaden Timur Tengah) berjaya, dimana komunitas orang-orang purba/primitif masih hidup di goa-goa, lembah, gunung, padang pasir dan sebagainya, diseluruh kawasan bumi termasuk di aneka pulau besar wilayah nusantara yang kita miliki ini.

Agama tidak bisa dilepaskan dari kerangka pikir dan kepentingan manusia kuno juga manusia jaman kini, sebagai keyakinan magis atas keyakinan primitif, serta esensi kepentingan religius mereka. Kepentingan asal-usul keyakinan primitif ditimbulkan dan direkayasakan serba misteri oleh para dukun, guru, ulama agamis, pendeta, wali, nabi, yang mentasbihkan dirinya dari “kuasa langit” sebagai tokoh sakral penuh kekuatan misteri magis monopolistik. Seperti gejala masa kini banyak tokoh-tokoh umat (para-normal, dukun, guru, ulama agamis, bahkan pakar-pakar selebritis) yang gemar mentasbihkan dirinya sebagai orang yang mempunyai “kekuatan lebih” yang secara langsung menciptakan opini publik atas esensi muatan illahiah bagi atas peran visi dan misinya.

Di jaman kuno dahulu pun demikian pula, sehingga opini publik masa itu dan kemudian masa kinipun, menjadi keyakinan bahwa sadar dalam kelestarian iman spiritualnya, atas kebenaran mutlak visi-misi agamis yang diperankannya. Kalau kita otak-atik terhadap keragaman keyakinan agamis umat sekarang ini (misalnya agama Timur Tengah) maka ada hubungan korelasi intim dengan habitat tradisi kuno primitif dengan kontruksi agama tempat asal mula “dilahirkan / diciptakan” dalam aneka kepentingan misteri serba magis, juga diwarnai oleh pola kepentingan politis keduniawian mereka, demi kepentingan sendiri.

Konstruksi agama tidak lepas dari aneka macam cara pandang rohaniah batin masyarakat yang beraneka habitat hidup dan pola tradisi atau kebiasaan yang dapat disimpulkan dari adanya bermacam-macam etnis, suku bangsa, maka tumbuhlah aneka corak ritual agamis sesuai buah budaya tradisi yang berkotak-kotak, dalam aliran, sekte atau mashab sehingga timbulah aneka perilaku agamis yang macam-macam, biarpun mereka menganut agama yang memproklamirkan dalam keyakinan kebenaran keilahian Sang Satu dan Mutlak, tidak ada duanya yang menyamai.

Kemutlakan (absolut) agama dirinya, mengandung makna bahwa wujud agamanya tidak mengenal dan proses terjadinya terbentuk dari kodrat alami (tak mengenal proses evolusi sebab akibat, karmapala, metamorfosis dll) tidak mengenal proses penilaian, evaluasi, pembuktian kembali, verifikasi, otokritik (kritik koreksi kontrol diri) terhadap kebenaran absolut agamanya dirinya, tak mengenal makna “kebebasan” pilihan atau alternatif oleh keyakinan serba ketakdiran Allah, Tuhan, agama-Nya, tak mengenal penemuan ”penciptaan baru” akhirnya mereka tak mengerti bagaimana makna “monisme absolut” akan jabaran arti dari daya kecerdasan para ahli agamis (ulama besar) dan implementasi perilaku imani mereka sendiri.

Agar disadari secara kritis, bahwa sikap kebenaran absolut agamis dirinya, beserta kepentingan hegemoni kekuasaan agama monopolistik dirinya pun pada dasarnya tidak beda dengan hakekat nafsu kepentingan visi dan misi ideologis dunia, yang ingin di akui keperkasaannya. Maka timbul pertanyaan kritis yang menggigit : “apakah nafsu kepentingan hegemoni agamis itu adalah politikasi kehendak dan memang bersumber dari Allah? “apakah membunuh, menteror, menfitnah terhadap yang lemah adalah pahala” kalau memang semua jawabannya iya, lalu di manakah makna retorika “kerahiman dan keadilan agamis Allah” yang selalu di slogankan dan menjadi jargon-jargon visi-misi jihad agamisnya? Kontraversi agamis dalam aneka perilaku kepentingan dunia, atas nilai dan sikap kebenaran absolutisme dirinya, pasti haram bagi proses verifikasi keilmuan dan kecerdasan rasio atas dimensi peradatan kemanusiaan universal, dan inilah barangkali hakikat “stagnasi” agamisnya.

Disadari bahwa semua proses penciptaan alam ataupun dari Allah Sang Pencipta terjadi melalui proses evolusi alam. Demikian pula agama apapun di dunia selalu mengikuti hukum gejala perkembangan alam. Agama mengalami evolusi perkembangan metamorfosis seperti proses: oleh tubuh dan watak dari kepompong menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Dari contoh metaformosis tersebut, maka substansi agama pada awalnya mengandung muatan magis, animistik, serba misteri, maka memberilah banyak Tuhan-tuhan, Dewa-dewi, malaikat, lalu timbul pemikiran atas peran atau fungsi ke-illahi-an baiknya di borong atau di monopoli kekuasaan yang absolut oleh Dewa, Tuhan, Allah saja, dengan menyampingkan aneka tugas Dewa-dewi, Illah, malaikat dsb.

Pemikiran spiritualisme monopolis, akan membawa pengaruh absurditas, absolutisme dalam the way of thingking dan the way of life umat agamis monisme absolut apapun. Sebagai jabaran kekuasaan monopoli dari pola kepentingan para Nabi, Raja, pemimpin umat dsb. Sebagai utusan Allah-nya, mereka menetapkan atas hak legal formal ketasbihan kewenangan kekuasaan dari impunitas serta kesakralan atau ke-magis-an bagi dirinya (Robertus Bonarto). Konsep agamis monis absolutisme (Maha Esa tiada duanya) membawa aroganitas spiritual dan mereka tidak mengenal berlaku hukum tata keadilan “pluralisme alam dalam dimensi kemanusiaan, atas konstelasi kesadaran atau pemahaman akan substansi realitas monodualisme dalam agamisnya”. Maka berakibat bahwa wujud realitas atau nuansa menjadi kesirikan, kebatilan, kemunafikan, kemusyrikan, pemberhalaan agamis dari umatnya sendiri. Sasarannya selalu di alamatkan pada minoritas yang kafir, sesat, bid’ah dan yang salah. Dimana justru menjadi korban diskriminasi dari sikap agamis monis absolutisme, dimanapun pelosok dunia termasuk di sekitar kita, bahkan diri kita sendiri.

Sedang dirinyalah yang paling benar, yang tidak tersadar oleh pukauan sufisme, ilusi kebenaran palsu, memabukkan yang sulit dibuktikan. Hal itu membawa mayoritas umat pada sikap arogansi eksklusif merasa dirinya yang paling benar. Absolutisme agamis manapun akan secara alami berevolusi atau ber-metamorfosis yang mengakibatkan terpecah, menjadi aneka mashab, sekte, aliran, dimana kegelapan saling berkonfrontasi bagi “menangnya antar mereka sendiri” (termasuk dalam diri atau kelompok agama dan kepercayaan sekarang ini). Dengan legal formal mereka melaksanakan diskriminasi (ketidak-adilan) kekuasaan-Nya terhadap semua umat atau orang non-agamis untuk melaksanakan ritualitas religi di dalam negerinya sendiri. Maka muncul suatu pertanyaan “dimanakah makna retorika rahmatan lil’alamin bagi pihak lain yang terkena aksi diskriminasinya?

Fenomena diskriminasi agamis dalam proses ruang dan waktu, akan ber-metamorfosis ke dalam segala segi struktur sistem penyelenggaraan negara, baik di aspek ideologi, sosial, budaya, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, plus aneka kebijakan birokratis yang diskriminatif. Dari kabut ketidak-adilan di segala tingkat penyelenggaraan kekuasaan di negeri ini, maka dapat dipahami resiko dampak keterpurukan di segala segi kehidupan sebagai tumbal derita rakyat yang berperan sebagai objek kekuasaan para elit penguasanya (Kompas, 23 Desember 2005).
Tendensi sistem negeri yang menganut absolutisme agamis Timur Tengah kuno, jelas berpola diskriminasi terhadap minoritas akibat aspirasi visi dan misi dominasi kepentingan agamis, sebab di dorong oleh perilaku otoriterian monopolistiknya. Hal itu pasti secara radikal berhadapan dengan sistem anti-tesisnya, yaitu sistem pluralisme yang dilandasi oleh rasionalitas kedaulatan rakyat yang terpinggirkan. Dari situ mulailah terjadi konflik (adu kekuatan, manakah sistem kekuasaan yang benar) antara pemikiran tesis (rezim absolut agamis) ataukah anti-tesisnya (sistem demokratis-sekuler) (Tribun Kaltim, 10 Desember 2005).

Akhirnya kita berani mengambil pilihan atau alternatif yang ada, sesuai kedaulatan kebebasan berpikir modern, dimana kita dikelilingi oleh arena pacuan kemajuan iptek dunia. Apabila kita memilih tetap ngotot (via jihad agamisnya) sebagai agamis yang berfaham monisme absolud (disahkan sebagai langkah legal formal dalam konstitusi), maka lestarilah keterpurukan kita. Hal itu boleh-boleh saja asal tahu dampak resiko di kemudian hari, untuk menjawab mampukah negeri kita ini hidup dalam arena kompetisi iptek dunia, yang berperadaban maju, maka hal itu sulit untuk diramalkan. Apabila kita ngotot melawan pengaruh kemajuan teknologi bangsa-bangsa maju di sekitar geo-politik nusantara, apalagi posisi kita di titik pusat persilangan antara dua samudera dan dua benua, maka dampak posisi lemah kita akan beresiko “koelies en een koeilie onder de natie” dan terhinalah masyarakat miskin kita (Seminar budaya, 20 September 2006 di Taman Budaya Kaltim).

Hal itu pasti akan langgeng, mengalami stagnasi yang sejalan dengan irasionalitas agamis dari tradisi habitat batin gaib Timur Tengah yang bukan asli milik kita punya. Dan itulah takdir absurditas iman agamis kita, sebagai konsekuensi logis dari keputusan politik para elit agamis yang pintar namun “keblinger lan ora pener”. Saya sebagai seorang anak Jawa dan oleh pendidikan yang berpaham Islam thasyawuf, telah membentuk menjadi individu yang ber-Tuhan namun berpikir bebas dari dogma fanatisme agamis. Kebebasan berpikir inilah yang mendorong dan mengarahkan saya pada minat memahami filosofi dari pengalaman sendiri maupun dari referensi yang saya temukan secara autodidak. Baru kemudian saya di tasbihkan menjadi penganut kejawen pada tahun 1999.

Memiliki pribadi ganda dalam satu jati diri, membawa suatu citra jiwani yang unik yang mungkin indah bagi diri saya sendiri. Namun bagi orang lain (yang patuh pada satu dogma agamis yang dianutnya secara fanatik) visiku adalah suatu ke-GILA-an bahkan dianggap sesat. Santai aja lagi..!!!.hahaha. Sebagai orang jawa yang umumnya memiliki spiritualitas serba mistik, animis panteistik, gemar berfantasi imaginer, otak-atik gathuk lan mathuk (olah pemetaan sintesis atau bisa dikatakan analisa sintesa sinkretisme demi menemukan yang bersifat wujud perpaduan baru dalam cara pandang visi hidup spiritual dan aneka gagasan atau konsep pemikiran) itulah jati diri saya.

Sebagai penganut kejawen, sikap mistikus kejawen yang tertanam melalui proses panjang dalam batin jiwa saya sebagai orang jawa, akan saya pertahankan dengan tetap berakar dalam tradisi budaya jawa. Sungguh tidak rela apabila orang setelah beragamis batin gaib Timur Tengah, lalu tercabutlah akar budaya tradisi “adi luhung” nenek moyang yang memancarkan nilai luhur falsafah “spiritual kosmologi”. Kemudian pribadi aslinya tidak sadarkan diri dari rekayasa, oleh pola agamis dan tercetak atau meng-copy kultur asing bagaikan habitat asli batin gaib nomaden.
Pribadi ganda yang unik ini, yaitu berpribadi jawa namun tetap bersandar pada sikap toleran, mengarah pada pencerahan akal budi pengerti dalam menapaki jalan hidup saya di jaman serba absurd, kompleks dan dikenal sebagai jaman edan sekarang ini, yang penuh ketidak-pastian namun pasti, serta ketidak-adilan bagi rakyat bangsaku yang terpinggirkan, oleh tata ketidak-adilan diskriminatif bernuansa agamis. Dalam iman kepercayaan kejawen, alam mengajarkan keseimbangan, sistem harmonisasi yang serasi dalam setiap gerak hidup semua makhluk. Kejawen tidak mengajarkan Tuhan itu ada di atas sana, bukan terlalu jauh atau sehingga kita tidak bisa melihat-Nya. Tritunggal adalah penyembahan jawa kuno; Bopo Angkoso, Ibu Pertiwi, serta Sukmo Sejati (dalam setiap hati suci individu atau manusia). Maka ajaran substansi manunggaling kawula gusti menjadi substansi kebatinan jawa.

Kembali pada konsep manunggaling kawula gusti dalam rutinitas kejawen (versi mistik bagi saya), bahwa hal itu akan terjadi bilamana setiap individu penganut kejawen (dalam hati yang bersih atau suci) selalu manunggal dengan khusuk menyambut dalam keintiman, yang mana mengandung falsafah spiritual kosmologi dan akhirnya manunggal menjadi satu kesatuan antara kawula kalawan gusti. Namun masih sangat disayangkan, prosesi ritual yang menimbulkan penyatuan alam dengan segala makhluk hidup dan yang memberi cerminan etika budaya jawa, agaknya masih merupakan rutinitas tahunan yang kita belum mampu menangkap makna yang mendalam dan mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian kita.
Penulis:
S. Jubaidi Djiwandono & Sukmoyorenggo
Penghayat Kepercayaan Jawa
Tinggal di Semarang

Sejak kecil sebagian dari kita telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat dengan hanya sedikit iman atau keimanan kepada Tuhan. Kenapa dikatakan demikian? Sebab ada perbedaan antara kepercayaan kepada seperangkat dalil, dengan keimanan yang mungkin atau memungkinkan kita untuk menaruh keyakinan kepada kebenaran dalil-dalil tersebut. Keyakinan kita tentang keagamaan yang terkesan pada masa kanak-kanak lebih banyak merupakan kredo (pernyataan kepercayaan atau keyakinan) yang menakutkan, sampai terbawa pada masa dewasa. Cerita neraka dengan segenap malaikat penjaganya yang kejam dan azab kubur yang mengerikan, mampu membangkitkan realita kejiwaan kita yang menakutkan dari sosok Tuhan.

Di sisi lain, Tuhan merupakan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi. Ia begitu agung dan suci, sehingga cukup baginya duduk santai di singgasananya, seperti imajinasi tentang raja-raja pada gambaran manusia. Akibatnya banyak orang yang terjebak pada imajinasi ini. Sebagai batasan untuk tidak membicarakan Tuhan. Dan bagi manusia biasa tidak layak untuk menyentuh wilayah Ketuhanan.

Agama yang kita tangkap selama ini adalah sebagai seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersikap “top down” yang diberikan pada kita untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut, atau ditanamkan oleh kiai, guru, dan tradisi lingkungan kita. Hal ini sangat berbeda jika keagamaan sebagai ageman urip timbul atau berasal dari jiwa yang mempunyai internal bawaan otak dan jiwa manusia, karena keagamaan yang berasal dari potensi akan sesuai dengan ajaran agama yang benar dan universal secara utuh.

Keimanan orang tua dan pola pikir mereka akan mempengaruhi pikiran anak yang memang masih mudah terkena pengaruh, sedangkan informasi dari lingkungan terkadang lebih banyak merupakan tuntutan dari pada pemberdayaan kesucian dasar manusia itu sendiri. Dengan kata lain roh manusia merupakan agama atau ageman itu sendiri, sebab roh manusia secara apriori (dianggap) telah mendapatkan perintah suci.

Epistemology Ibnu Tamiyah tidak mengijinkan terlalu banyak intelektualisasi termasuk interprestasi, sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia yang terutama adalah kesucianNya, atau dengan kesucian itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, benar dan salah. Kesucian yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain yang kemudian disebut kesucian yang diturunkan (Ibnu Tamiyah dalam Minhaj Al Sunah, jilid 4 hal. 237).

Bicara mengenai kepercayaan kita, yang menurut saya pribadi ageman ini, merupakan pembenaran terhadap kenyataan ayat-ayat yang hakiki yang muncul dari jiwa manusia itu sendiri. Seperti rasa sayang terhadap sesama, cinta kasih, kerinduan, sifat melindungi diri, kecenderungan ingin lebih baik dan lain-lain. Semua bukan merupakan tuntutan untuk berbuat demikian, akan tetapi merupakan perwujudan dirinya (kesucian diri kita). Dalam apa yang kita yakini, secara implisit menjelaskan bahwa dalam kesucian diri manusia terdapat kecenderungan-kecenderungan untuk menuju ke arah kebaikan dan penolakan terhadap tindak kejahatan dan kedurhakaan. Tuhan seru sekalian Alam tidak hanya menempatkan kesucian diri manusia kedalam keimanan kepada Yang Maha Menciptakan dan menganugerahinya kemampuan untuk mengenal Tuhan, namun juga telah menciptakan didalamnya dorongan-dorongan alamiah menuju kebaikan dan penolakan terhadap perbuatan buruk, dan tindakan-tindakan yang merendahkan martabat manusia. Oleh karena itu secara tanpa sadar jiwa manusia akan condong ke arah kebaikan dan tidak suka kepada hal-hal yang bersifat jahat.

Sedangkan Ralph Waldo Emerson menulis “Munculnya perbuatan yang tidak baik, yang dianggap sepele tidak hanya merusak titik kebaikan tertentu, akan tetapi seluruh wilayah kebaikan. Mereka ada dalam satu roh yang mengandung semuanya. Roh menuntut kesucian, namun kesucian bukan roh itu sendiri. Ia menuntut keadilan, namun ia bukan keadilan, ia manuntut kedermawanan atau bahkan yang lebih baik lagi, sehingga akhirnya ada semacam penurunan dan bantuan yang dirasakan perlu ketika kita menghapus pembicaraan tentang moral untuk mendapatkan kebaikan yang diperintah roh. Bagi anak-anak yang terlahir dengan keadaan fitrah baik, kebaikan merupakan hal yang lumrah dan tidak susah diperoleh. Bertanyalah pada nurani, dan manusia secara tiba-tiba akan menjadi orang baik”. (Ralph Waldo Emerson, dalam buku Meraih Kesempurnaan Spiritual, hal 38 oleh Sayyid Mujtaba Musawi, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Pustaka Hidayah Bandung).

Yang membuat saya tertarik pada hal di atas adalah tentang “mereka ada dalam satu roh yang mengandung semuanya”, “roh menuntut kesucian dan kesucian itu bukan roh itu sendiri”. Menurut hemat saya ada satu kesamaan arti atau makna dari bahasa yang berbeda. Terkadang kita “nggebyah uyah podo roto” (menyamaratakan) tentang pemahaman dari “roh, nyowo, sukmo”, padahal roh bukanlah nyowo, dan nyowo bukanlah sukmo, tetapi mereka ada dalam satu roh yang mengandung semuanya.

Pada dasarnya Tuhan telah menganugerahi manusia kesucian melalui rohani yang suci, sehingga kepercayaan kita menganjurkan untuk tirakat prihatin untuk mengendalikan roh-roh anasir yang ada dalam diri kita untuk mengembalikan kesucian kita yang dilukiskan Guru Jati, yang hadir selalu bersama kita ke alam dunia ini dengan menbawa dasar spiritual yang suci dan sehat sesuai dengan hukum-hukum hereditas, sebagai anak manusia yang dilahirkan pertama kali dan yang paling pertama untuk menuju ke arah kesempurnaan (paraning dumadi).

Sebuah pertanyaan yang mungkin gampang-gampang susah untuk kita jawab adalah sudahkah kita berkejawen? Mendengarnya, pikiran kita langsung menuju pada pakaian adat jawa lengkap dengan atribut orang jawa, sebagai konsekuensi pengalaman Jawa serta cita-cita menerapkan kehidupan seperti pada jaman dulu karena dianggap paling ideal sebagai teladan hidup (para nenek moyang orang jawa). Kita langsung mempunyai bayangan, ibarat kita memasuki sebuah lorong waktu kemasa hidup nenek moyang kita, dan disana kita diajak duduk bersama mereka, kemudian kita bisa melihat cara hidup mereka yang penuh dengan kedamaian. Itulah sebuah potret kehidupan nenek moyang Jawa yang di idam-idamkan oleh sebagian besar penganut aliran kejawen.

Akan lain jadinya jika hal itu terjadi dan diangkat kemasa sekarang. Kehidupan pada jaman dahulu akan terasa sangat sederhana dan konvensional, baik di bidang perekonomian, perdagangan, pemerintahan, maupun alat-alat bantu dalam kehidupan seperti pertanian, peternakan dan perindustrian, kebudayaan dan teknologi masa kini telah jauh melampaui kehidupan masa lalu, dimana dunia perekonomian dan perkembangan hukum, teknologi transportasi, kedokteran, perindustrian, pertanian dan lain sebagainya semakin tinggi dan modern.

Ada sebagian kalangan yang ingin pertahaann dan memproklamirkan dirinya dengan istilah kaum jawa tulen (jawa murni) yaitu suatu kaum yang tidak terkontaminasi pemikiran baru. Mereka ingin melaksanakan ajaran jawanya yang benar-benar murni (pakem) dan berasal dari nash serta perilaku kehidupan nenek moyang atau tokoh-tokoh jawa klasik, dengan tingkat kesalehan yang diakui. Memang benar pada masa itu kehidupan yang adil dan makmur telah dicapai, hak asasi manusia secara alamiah dijunjung tinggi. Akan tetapi apabila cara memandang keberhasilan yang telah dicapai oleh mereka (nenek moyang) dibatasi dari sisi teks verbal pada setiap perbuatan tokoh kejawen masa lalu yang kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa masa kini yang sungguh berbeda dalam intepretasi makna, maka tentu saja akan menjadi masalah.

Jadi berfikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan ajaran kepercayaan kita (Semua Aliran Kepercayaan Jawa) sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para guru, para winasis, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak untuk membantu memahami nilai tradisional yang dapat berupa sesanti, pasemon, sanepo, pralambang, pralampito, wangsalan, parikan, panyondro, paribasan, bebasan, saloka, serta kapitayan (kepercayaan).

Setiap hal yang telah saya sebutkan tadi bisa dipahami berbeda oleh individu yang berbeda. Setiap hal tersebut juga termasuk pengalaman doktrin kepercayaan juga bisa dipahami berbeda dalam kurun waktu (jaman) tertentu. Pemahaman bisa berubah karena latar belakang pengalaman dari ilmu pengetahuan. Perlu dipertimbangkan juga tentang perkembangan dari suatu kata. Sebab ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bentuk materiil atau yang berhubungan dengan wujudnya. Pada hal bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakat dan ilmu pengetahuan. Atau mungkin dalam hal ini disebut “cedak ing rupa adoh ing panjangka”. Sebagai contoh kata “lampu”. Bagi masyarakat tertentu lampu bisa berarti alat penerangan yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Berbeda dengan dengan pengertian yang ada dalam benak kita yang hidup di keadaan sekarang bahwa yang tergambar tentang materi tersebut adalah bola lampu listrik atau neon.

Inilah yang dikatakan bahwa kepercayaan kita berbicara pada siapa saja, dari jaman ke jaman dan bersifat universal alamiah sesuai dengan yang tergambar pada alam semesta, yang dalam ilmu tasawuf di sebut ayat-ayat kauniah. Sedangkan dalam ajaran kita disebut ilmu kasunyatan. Lalu apa jadinya jika kita harus mengikuti intepretasi orang-orang yang pengetahuannya dibatasi seperti itu, pemikiran dan pengetahuan tentang makna sesuatu yang berkembang seperti apa yang telah saya uraikan tadi. Yang harus dicamkan adalah, meskipun pemahaman terhadap sesuatu kalimat berubah, hal itu tidak mengubah kata-kata dari dhawuh, maklumat atau sabda para sesepuh yang mendahului kita. Yang berubah itu adalah makna setiap orang tentang anggapan pemahaman kata yang dimaksud secara dimensional dari proses kekritisan pemikiran-pemikiran kita. Bisa juga hal ini sesuai dengan gagasan para sesepuh dahulu tentang ilmu-ngelmu-pinemu. Secara garis besar setiap individu dari kita diberikan keleluasaan dalam mengolah pikir, daya nalar atau rasio untuk memahami sesuatu hal demi terciptanya pemahaman-pemahaman baru tanpa harus meninggalkan pemahaman lama sebagai pijakan.

Inilah sebenarnya yang ingin saya katakan dan untuk kita renungkan bersama tentang sebuah makna yang berbeda, tentang sebuah arti yang tak sama, dari waktu kewaktu. Karena bagi yang merenugi dan menghayatinya, transformasi adalah sebuah kenyataan, dari jaman purwa, purwa madya hingga purwa wasana. Kesadaran akan adanya transformasi berkejawen dalam hidup manusia ini menjadi persoalan yang rumit dan sangat klasik sepanjang sejarah manusia yang mempunyai kebijakan, terutama berkeyakinan kejawen karena kejawen dan pemeluknya adalah satu, dalam artian bahwa tindakan orang berkejawen dan kejawen itu sendiri ada dalam satu etitas atau wujud. Maka sangat jelas untuk meneropong kedalam sebuah penghayatan.

Idealnya kita bisa mengevaluasi dan mengontrol cara berkejawen kita. Kalau cara berkejawen kita itu ditampilkan dengan bentuk kekerasan, ketidak-adilan, kemunafikan dan sejenisnya, mana kita tahu bahwa penghayatan kejawen kita belum sampai pada transformasi atau perubahan. Kalau ada seseorang yang mengkotomikan ada agama langit dan agama bumi, atau agama manusia dan agama Tuhan, maka kita berarti masih berada dalam ruang lingkup agama manusia yang penuh kepalsuan. Jika kita sampai tahap ini, orang akan bertanya, dimana sumbangan-sumbangan kejawen bagi peradaban manusia?

Sebaliknya, kalau pengahayatan sebuah agama menampilkan kebaikan, maka itu adalah Tuhan atau agama manusia yang telah mengalami proses transformasi atau perubahan. Agama bagi kita adalah kejawen, dan disinilah sumbangan sebuah kejawen dalam peradaban manusia sebagai tanggung jawab moral dan sosial. 1 Suro adalah peristiwa transformasi. Transformasi ini bisa dilihat dari dua belah pihak. Yakni Tuhan atau Sang Hyang Tunggal dan manusia itu sendiri. Dari pihak Sang Tunggal, transformasi adalah bukti cinta kasih Sang Maha Agung yang mau menyelamatkan manusia melalui sifat-sifat-Nya melebur dan mengejawantah lewat simbol-simbol sesaji 1 Suro kedalam ajaran keyakinan leluhur sehingga agama kejawen yang dikatakan sesat itu menjadi suci.

Sementara dari pihak manusia, transformasi adalah sebuah peristiwa penyucian diri. Dengan adanya transformasi ini, manusia mengubah hidupnya dari hal buruk menjadi hal yang pantas dan pas bagi diri kita, bagi Tuhan dan bahkan sesama hidup. Namun peristiwa transformasi tidaklah sampai disini. Transformasi sendiri yang saya maksud adalah mengandung arti perutusan. Sebagaimana Sang Semar mengejawantah menjadi seorang manusia dan turun ke Bumi untuk menjadi Sang Pamomong demi sebuah misi keselamatan, demikian pula kita yang merayakan 1 Suro adalah peristiwa perutusan itu sendiri, asalkan kita mampu memahami dan mengahayti semua sesaji sebagai simbol keseimbangan kehidupan, kesempurnaan kehidupan bahkan kehidupan dan kesempurnaan itu sendiri.

Jadi peristiwa 1 Suro sebagai sebuah transformasi kejawen tidaklah sempurna jika orang atau pengikutnya sendiri mengartikannya sebatas merayakan, ritus dan memperingati, setelah itu kembali kepada kebiasaan yang semula, yang diwarnai oleh hal-hal negatif. 1 Suro sebagai sebuah transformasi menuntut tanggung jawab moral dan sosial yang konsisten sehingga pesan yang terkandung dalam peringatan 1 Suro tidak terasa hambar dan utopis saja (khayalan).
Bagi kita yang merayakan dan memperingati 1 Suro di jaman dan tahun ini yang masih terselimuti kabut hitam, pesan solidaritas dan memayu hayuning bawana yang merupakan sebuah pesan sekaligus semboyan untuk menegakkan kebajikan, kebenaran yang universal dan keadilan di dunia. Cita-cita membangun masyarakat yang hayu secara lahir dan rahayu secara batin.

Pesan 1 Suro hanya punya daya transformatif kalau umat kejawen sungguh membuktikan dalam kehidupan konkretnya. Mengiyakan Tuhan tidak bisa dalam waktu bersamaan menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman di alamatkan pada Sang Hyang Maha Agung, Tuhan seru sekalian alam. Komitmen dan respon itu tidak bisa dan tidak harus di aktualisasikan dalam hubungannya dengan sesama makhluk.

Kiranya, momentum 1 Suro yang kita peringati ini dengan lelaku batin sebulan penuh dapat mengembalikan kepribadian kita sebagai manusia jawa yang tidak lupa akan kejawennya. Orang jawa memiliki kearifan tradisional yang berasal dari sintesa perjalanan sejarah yang telah berlangsung lebih dari 2000 tahun. Penghayatan orang jawa terhadap ritual agama, etos kerja, kepemimpinan, kebijakan, kemasyarakatan dan lain sebagainya bisa di gali melalui pesan filosofi sesaji suronan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan jagad batin orang jawa yang adi luhung dan hadi ningrat, mendalam serta yang sangat luas. Inilah pintu utama bagi para Indonesianis khususnya jawaisme.

Kombak-kombuling kahanan, mobah mungkreting donya. Dunia memang terus berputar, berbagai peristiwa datang dan berlalu, segala sesuatu datang dan pergi, semuanya akan mengalami perubahan. Ibarat cokro manggilingan, seperti lingkaran roda yang senantiasa bergerak berputar. Itulah yang tersirat dalam sebuah iket wulung yang seakan-akan ingin mengatakan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua bisa berubah “bisa kena rupak lan rusak”. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri, kiranya pada tema 1 Suro ini, tiada lain adalah perubahan atau transformasi dalam sebuah metamorfosis kepribadian kita. Seperti kepompong menjadi kupu-kupu yang indah.

Rahayu..rahayu...rahayu...

Sekelumit kalimat untuk saudaraku di Pulau Jawa, di seantero Nusantara dan di seluruh penjuru Dunia yang saya rindukan. Salam damai untuk kalian semua yang sampai detik ini “isih gelem ngakoni dadi wong jawa lan isih gelem nglakoni lumrahe dadi wong jowo”. Dengan rasa eling bahwa kita terlahir dan mati di bumi jawa. Sudah semestinyalah kita sendiri yang mewarisi segala hasil budaya para leluhur kita yang adi luhung, serta untuk tetap menjaganya dan menurunkannya pada anak cucu kita.

Di tengah keadaan yang semakin gelap dan menyongsong terangnya cahaya dari kegelapan saat ini, menyadarkan kita sebagai orang jawa dan diharapkan “tur njowo” untuk bisa menangkap berbagai makna perubahan sebagai sebuah kepositifan, bukan hanya sebagai bencana, tragisme dan kekejaman Sang Pencipta. Sebagai orang jawa yang identik dengan ilmu titen, semoga kita semua dapat membaca, berpikir dan memahami makna perubahan dan menarik kesimpulan yang pada akhirnya kita aktualkan dalam tingkah laku, budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari.

Saya juga berharap dalam masa gelap inilah diri kita berguna menjadi cahaya terang bagi diri kita sendiri, keluarga, orang lain dan masyarakat pada umumnya. Satu hal yang perlu kita ingat bersama bahwa esensi dan substansi dari segala ajaran jawa adalah memayu hayuning bawana di samping mengajak kita untuk mencari sangkan lan paraning dumadi. Lebih lanjut saya mengutarakan semua isi hati saya, pengetahuan saya, pemahaman saya, sebagai wacana untuk saudara-saudaraku semua. Apabila ada kurang lebihnya saya pribadi mohon maaf. Demikian sekelumit dan sepenggal pengantar buat saudaraku. Salam damai dari saya dan selamat B E R J O E A N G......!!!!!
Rahayu..rahayu..rahayu...