Tuesday, January 20, 2009

AGAMA JAWA (AGEMANING URIP)

Sejak kecil sebagian dari kita telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat dengan hanya sedikit iman atau keimanan kepada Tuhan. Kenapa dikatakan demikian? Sebab ada perbedaan antara kepercayaan kepada seperangkat dalil, dengan keimanan yang mungkin atau memungkinkan kita untuk menaruh keyakinan kepada kebenaran dalil-dalil tersebut. Keyakinan kita tentang keagamaan yang terkesan pada masa kanak-kanak lebih banyak merupakan kredo (pernyataan kepercayaan atau keyakinan) yang menakutkan, sampai terbawa pada masa dewasa. Cerita neraka dengan segenap malaikat penjaganya yang kejam dan azab kubur yang mengerikan, mampu membangkitkan realita kejiwaan kita yang menakutkan dari sosok Tuhan.

Di sisi lain, Tuhan merupakan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi. Ia begitu agung dan suci, sehingga cukup baginya duduk santai di singgasananya, seperti imajinasi tentang raja-raja pada gambaran manusia. Akibatnya banyak orang yang terjebak pada imajinasi ini. Sebagai batasan untuk tidak membicarakan Tuhan. Dan bagi manusia biasa tidak layak untuk menyentuh wilayah Ketuhanan.

Agama yang kita tangkap selama ini adalah sebagai seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersikap “top down” yang diberikan pada kita untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut, atau ditanamkan oleh kiai, guru, dan tradisi lingkungan kita. Hal ini sangat berbeda jika keagamaan sebagai ageman urip timbul atau berasal dari jiwa yang mempunyai internal bawaan otak dan jiwa manusia, karena keagamaan yang berasal dari potensi akan sesuai dengan ajaran agama yang benar dan universal secara utuh.

Keimanan orang tua dan pola pikir mereka akan mempengaruhi pikiran anak yang memang masih mudah terkena pengaruh, sedangkan informasi dari lingkungan terkadang lebih banyak merupakan tuntutan dari pada pemberdayaan kesucian dasar manusia itu sendiri. Dengan kata lain roh manusia merupakan agama atau ageman itu sendiri, sebab roh manusia secara apriori (dianggap) telah mendapatkan perintah suci.

Epistemology Ibnu Tamiyah tidak mengijinkan terlalu banyak intelektualisasi termasuk interprestasi, sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia yang terutama adalah kesucianNya, atau dengan kesucian itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, benar dan salah. Kesucian yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain yang kemudian disebut kesucian yang diturunkan (Ibnu Tamiyah dalam Minhaj Al Sunah, jilid 4 hal. 237).

Bicara mengenai kepercayaan kita, yang menurut saya pribadi ageman ini, merupakan pembenaran terhadap kenyataan ayat-ayat yang hakiki yang muncul dari jiwa manusia itu sendiri. Seperti rasa sayang terhadap sesama, cinta kasih, kerinduan, sifat melindungi diri, kecenderungan ingin lebih baik dan lain-lain. Semua bukan merupakan tuntutan untuk berbuat demikian, akan tetapi merupakan perwujudan dirinya (kesucian diri kita). Dalam apa yang kita yakini, secara implisit menjelaskan bahwa dalam kesucian diri manusia terdapat kecenderungan-kecenderungan untuk menuju ke arah kebaikan dan penolakan terhadap tindak kejahatan dan kedurhakaan. Tuhan seru sekalian Alam tidak hanya menempatkan kesucian diri manusia kedalam keimanan kepada Yang Maha Menciptakan dan menganugerahinya kemampuan untuk mengenal Tuhan, namun juga telah menciptakan didalamnya dorongan-dorongan alamiah menuju kebaikan dan penolakan terhadap perbuatan buruk, dan tindakan-tindakan yang merendahkan martabat manusia. Oleh karena itu secara tanpa sadar jiwa manusia akan condong ke arah kebaikan dan tidak suka kepada hal-hal yang bersifat jahat.

Sedangkan Ralph Waldo Emerson menulis “Munculnya perbuatan yang tidak baik, yang dianggap sepele tidak hanya merusak titik kebaikan tertentu, akan tetapi seluruh wilayah kebaikan. Mereka ada dalam satu roh yang mengandung semuanya. Roh menuntut kesucian, namun kesucian bukan roh itu sendiri. Ia menuntut keadilan, namun ia bukan keadilan, ia manuntut kedermawanan atau bahkan yang lebih baik lagi, sehingga akhirnya ada semacam penurunan dan bantuan yang dirasakan perlu ketika kita menghapus pembicaraan tentang moral untuk mendapatkan kebaikan yang diperintah roh. Bagi anak-anak yang terlahir dengan keadaan fitrah baik, kebaikan merupakan hal yang lumrah dan tidak susah diperoleh. Bertanyalah pada nurani, dan manusia secara tiba-tiba akan menjadi orang baik”. (Ralph Waldo Emerson, dalam buku Meraih Kesempurnaan Spiritual, hal 38 oleh Sayyid Mujtaba Musawi, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Pustaka Hidayah Bandung).

Yang membuat saya tertarik pada hal di atas adalah tentang “mereka ada dalam satu roh yang mengandung semuanya”, “roh menuntut kesucian dan kesucian itu bukan roh itu sendiri”. Menurut hemat saya ada satu kesamaan arti atau makna dari bahasa yang berbeda. Terkadang kita “nggebyah uyah podo roto” (menyamaratakan) tentang pemahaman dari “roh, nyowo, sukmo”, padahal roh bukanlah nyowo, dan nyowo bukanlah sukmo, tetapi mereka ada dalam satu roh yang mengandung semuanya.

Pada dasarnya Tuhan telah menganugerahi manusia kesucian melalui rohani yang suci, sehingga kepercayaan kita menganjurkan untuk tirakat prihatin untuk mengendalikan roh-roh anasir yang ada dalam diri kita untuk mengembalikan kesucian kita yang dilukiskan Guru Jati, yang hadir selalu bersama kita ke alam dunia ini dengan menbawa dasar spiritual yang suci dan sehat sesuai dengan hukum-hukum hereditas, sebagai anak manusia yang dilahirkan pertama kali dan yang paling pertama untuk menuju ke arah kesempurnaan (paraning dumadi).

0 comments: