Tuesday, January 20, 2009

TRANSFORMASI KEJAWEN

Sebuah pertanyaan yang mungkin gampang-gampang susah untuk kita jawab adalah sudahkah kita berkejawen? Mendengarnya, pikiran kita langsung menuju pada pakaian adat jawa lengkap dengan atribut orang jawa, sebagai konsekuensi pengalaman Jawa serta cita-cita menerapkan kehidupan seperti pada jaman dulu karena dianggap paling ideal sebagai teladan hidup (para nenek moyang orang jawa). Kita langsung mempunyai bayangan, ibarat kita memasuki sebuah lorong waktu kemasa hidup nenek moyang kita, dan disana kita diajak duduk bersama mereka, kemudian kita bisa melihat cara hidup mereka yang penuh dengan kedamaian. Itulah sebuah potret kehidupan nenek moyang Jawa yang di idam-idamkan oleh sebagian besar penganut aliran kejawen.

Akan lain jadinya jika hal itu terjadi dan diangkat kemasa sekarang. Kehidupan pada jaman dahulu akan terasa sangat sederhana dan konvensional, baik di bidang perekonomian, perdagangan, pemerintahan, maupun alat-alat bantu dalam kehidupan seperti pertanian, peternakan dan perindustrian, kebudayaan dan teknologi masa kini telah jauh melampaui kehidupan masa lalu, dimana dunia perekonomian dan perkembangan hukum, teknologi transportasi, kedokteran, perindustrian, pertanian dan lain sebagainya semakin tinggi dan modern.

Ada sebagian kalangan yang ingin pertahaann dan memproklamirkan dirinya dengan istilah kaum jawa tulen (jawa murni) yaitu suatu kaum yang tidak terkontaminasi pemikiran baru. Mereka ingin melaksanakan ajaran jawanya yang benar-benar murni (pakem) dan berasal dari nash serta perilaku kehidupan nenek moyang atau tokoh-tokoh jawa klasik, dengan tingkat kesalehan yang diakui. Memang benar pada masa itu kehidupan yang adil dan makmur telah dicapai, hak asasi manusia secara alamiah dijunjung tinggi. Akan tetapi apabila cara memandang keberhasilan yang telah dicapai oleh mereka (nenek moyang) dibatasi dari sisi teks verbal pada setiap perbuatan tokoh kejawen masa lalu yang kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa masa kini yang sungguh berbeda dalam intepretasi makna, maka tentu saja akan menjadi masalah.

Jadi berfikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan ajaran kepercayaan kita (Semua Aliran Kepercayaan Jawa) sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para guru, para winasis, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak untuk membantu memahami nilai tradisional yang dapat berupa sesanti, pasemon, sanepo, pralambang, pralampito, wangsalan, parikan, panyondro, paribasan, bebasan, saloka, serta kapitayan (kepercayaan).

Setiap hal yang telah saya sebutkan tadi bisa dipahami berbeda oleh individu yang berbeda. Setiap hal tersebut juga termasuk pengalaman doktrin kepercayaan juga bisa dipahami berbeda dalam kurun waktu (jaman) tertentu. Pemahaman bisa berubah karena latar belakang pengalaman dari ilmu pengetahuan. Perlu dipertimbangkan juga tentang perkembangan dari suatu kata. Sebab ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bentuk materiil atau yang berhubungan dengan wujudnya. Pada hal bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakat dan ilmu pengetahuan. Atau mungkin dalam hal ini disebut “cedak ing rupa adoh ing panjangka”. Sebagai contoh kata “lampu”. Bagi masyarakat tertentu lampu bisa berarti alat penerangan yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Berbeda dengan dengan pengertian yang ada dalam benak kita yang hidup di keadaan sekarang bahwa yang tergambar tentang materi tersebut adalah bola lampu listrik atau neon.

Inilah yang dikatakan bahwa kepercayaan kita berbicara pada siapa saja, dari jaman ke jaman dan bersifat universal alamiah sesuai dengan yang tergambar pada alam semesta, yang dalam ilmu tasawuf di sebut ayat-ayat kauniah. Sedangkan dalam ajaran kita disebut ilmu kasunyatan. Lalu apa jadinya jika kita harus mengikuti intepretasi orang-orang yang pengetahuannya dibatasi seperti itu, pemikiran dan pengetahuan tentang makna sesuatu yang berkembang seperti apa yang telah saya uraikan tadi. Yang harus dicamkan adalah, meskipun pemahaman terhadap sesuatu kalimat berubah, hal itu tidak mengubah kata-kata dari dhawuh, maklumat atau sabda para sesepuh yang mendahului kita. Yang berubah itu adalah makna setiap orang tentang anggapan pemahaman kata yang dimaksud secara dimensional dari proses kekritisan pemikiran-pemikiran kita. Bisa juga hal ini sesuai dengan gagasan para sesepuh dahulu tentang ilmu-ngelmu-pinemu. Secara garis besar setiap individu dari kita diberikan keleluasaan dalam mengolah pikir, daya nalar atau rasio untuk memahami sesuatu hal demi terciptanya pemahaman-pemahaman baru tanpa harus meninggalkan pemahaman lama sebagai pijakan.

Inilah sebenarnya yang ingin saya katakan dan untuk kita renungkan bersama tentang sebuah makna yang berbeda, tentang sebuah arti yang tak sama, dari waktu kewaktu. Karena bagi yang merenugi dan menghayatinya, transformasi adalah sebuah kenyataan, dari jaman purwa, purwa madya hingga purwa wasana. Kesadaran akan adanya transformasi berkejawen dalam hidup manusia ini menjadi persoalan yang rumit dan sangat klasik sepanjang sejarah manusia yang mempunyai kebijakan, terutama berkeyakinan kejawen karena kejawen dan pemeluknya adalah satu, dalam artian bahwa tindakan orang berkejawen dan kejawen itu sendiri ada dalam satu etitas atau wujud. Maka sangat jelas untuk meneropong kedalam sebuah penghayatan.

Idealnya kita bisa mengevaluasi dan mengontrol cara berkejawen kita. Kalau cara berkejawen kita itu ditampilkan dengan bentuk kekerasan, ketidak-adilan, kemunafikan dan sejenisnya, mana kita tahu bahwa penghayatan kejawen kita belum sampai pada transformasi atau perubahan. Kalau ada seseorang yang mengkotomikan ada agama langit dan agama bumi, atau agama manusia dan agama Tuhan, maka kita berarti masih berada dalam ruang lingkup agama manusia yang penuh kepalsuan. Jika kita sampai tahap ini, orang akan bertanya, dimana sumbangan-sumbangan kejawen bagi peradaban manusia?

Sebaliknya, kalau pengahayatan sebuah agama menampilkan kebaikan, maka itu adalah Tuhan atau agama manusia yang telah mengalami proses transformasi atau perubahan. Agama bagi kita adalah kejawen, dan disinilah sumbangan sebuah kejawen dalam peradaban manusia sebagai tanggung jawab moral dan sosial. 1 Suro adalah peristiwa transformasi. Transformasi ini bisa dilihat dari dua belah pihak. Yakni Tuhan atau Sang Hyang Tunggal dan manusia itu sendiri. Dari pihak Sang Tunggal, transformasi adalah bukti cinta kasih Sang Maha Agung yang mau menyelamatkan manusia melalui sifat-sifat-Nya melebur dan mengejawantah lewat simbol-simbol sesaji 1 Suro kedalam ajaran keyakinan leluhur sehingga agama kejawen yang dikatakan sesat itu menjadi suci.

Sementara dari pihak manusia, transformasi adalah sebuah peristiwa penyucian diri. Dengan adanya transformasi ini, manusia mengubah hidupnya dari hal buruk menjadi hal yang pantas dan pas bagi diri kita, bagi Tuhan dan bahkan sesama hidup. Namun peristiwa transformasi tidaklah sampai disini. Transformasi sendiri yang saya maksud adalah mengandung arti perutusan. Sebagaimana Sang Semar mengejawantah menjadi seorang manusia dan turun ke Bumi untuk menjadi Sang Pamomong demi sebuah misi keselamatan, demikian pula kita yang merayakan 1 Suro adalah peristiwa perutusan itu sendiri, asalkan kita mampu memahami dan mengahayti semua sesaji sebagai simbol keseimbangan kehidupan, kesempurnaan kehidupan bahkan kehidupan dan kesempurnaan itu sendiri.

Jadi peristiwa 1 Suro sebagai sebuah transformasi kejawen tidaklah sempurna jika orang atau pengikutnya sendiri mengartikannya sebatas merayakan, ritus dan memperingati, setelah itu kembali kepada kebiasaan yang semula, yang diwarnai oleh hal-hal negatif. 1 Suro sebagai sebuah transformasi menuntut tanggung jawab moral dan sosial yang konsisten sehingga pesan yang terkandung dalam peringatan 1 Suro tidak terasa hambar dan utopis saja (khayalan).
Bagi kita yang merayakan dan memperingati 1 Suro di jaman dan tahun ini yang masih terselimuti kabut hitam, pesan solidaritas dan memayu hayuning bawana yang merupakan sebuah pesan sekaligus semboyan untuk menegakkan kebajikan, kebenaran yang universal dan keadilan di dunia. Cita-cita membangun masyarakat yang hayu secara lahir dan rahayu secara batin.

Pesan 1 Suro hanya punya daya transformatif kalau umat kejawen sungguh membuktikan dalam kehidupan konkretnya. Mengiyakan Tuhan tidak bisa dalam waktu bersamaan menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman di alamatkan pada Sang Hyang Maha Agung, Tuhan seru sekalian alam. Komitmen dan respon itu tidak bisa dan tidak harus di aktualisasikan dalam hubungannya dengan sesama makhluk.

Kiranya, momentum 1 Suro yang kita peringati ini dengan lelaku batin sebulan penuh dapat mengembalikan kepribadian kita sebagai manusia jawa yang tidak lupa akan kejawennya. Orang jawa memiliki kearifan tradisional yang berasal dari sintesa perjalanan sejarah yang telah berlangsung lebih dari 2000 tahun. Penghayatan orang jawa terhadap ritual agama, etos kerja, kepemimpinan, kebijakan, kemasyarakatan dan lain sebagainya bisa di gali melalui pesan filosofi sesaji suronan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan jagad batin orang jawa yang adi luhung dan hadi ningrat, mendalam serta yang sangat luas. Inilah pintu utama bagi para Indonesianis khususnya jawaisme.

Kombak-kombuling kahanan, mobah mungkreting donya. Dunia memang terus berputar, berbagai peristiwa datang dan berlalu, segala sesuatu datang dan pergi, semuanya akan mengalami perubahan. Ibarat cokro manggilingan, seperti lingkaran roda yang senantiasa bergerak berputar. Itulah yang tersirat dalam sebuah iket wulung yang seakan-akan ingin mengatakan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua bisa berubah “bisa kena rupak lan rusak”. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri, kiranya pada tema 1 Suro ini, tiada lain adalah perubahan atau transformasi dalam sebuah metamorfosis kepribadian kita. Seperti kepompong menjadi kupu-kupu yang indah.

0 comments: