Kutulis apa yang aku rasa dan apa yang sedang aku pikir dalam kesendirianku pada era reformasi diawal abad globalisasi yang seakan memberi harapan pencerahan, namun ironi bagi bangsa dan negeriku atas pusaran keterpurukan yang berlanjut di dalam tubuh ibu pertiwiku, yang terkoyak-koyak oleh suatu aura batin gaib kegelapan yang menerjang jiwa dan tubuh bangsaku.

Didasarkan oleh kebebasan alam pikirku yang serba tidak percaya (skeptis) dalam kesangsian pengamatanku, maka ku coba beranjak dari hal yang abstrak religius menuju suatu konstruksi analitis yang munkin bisa dicerna oleh daya akal budi kaum muda sebagai pewaris bangsaku. Kita memerlukan instrumen analitis untuk segera bersama-sama secara terpadu, demi memecahkan aneka batin gaib kegelapan melalui metode analisis pemikiran baru.

Mari kita otak-atik agar gathuk lan mathuk bersama roh spiritual yang melingkupi keyakinan dan pemahaman agama (milik kita sendiri) terhadap makhluk. Supranatural (Illah-Illah, Tuhan-Tuhan, Dewa-Dewi dst) yang mencipta dan mengatur kendali hidup semua hal di atas bumi, yang mana berdiam di atas langit (persepsi kita yang terlahir secara turun-temurun). Agama adalah cara pandang dalam pemahaman dan penghayatann rasa batin orang-orang maupun dalam diri kita sendiri akan hal-hal magis, ajaib, misteri, dari rahasia langit yang bersifat imaterial. Pemahaman agamis yang serba misteri dan penuh keajaiban alam roh, yang kesemuanya bisa diyakini oleh “mata batin” namun sulit di pikir berdasarkan proses kausalitas terjadinya oleh daya keterbatasan akal budi kita.

Dapat dimaklumi dari pendekatan pragmatisme, bahwa agama apapun dalam kehidupan manusia sangat bernilai dan bahkan benar, apabila agama itu melayani kebutuhan dengan memberi kesenangan dan keamanan, keyakinan, kelegaan dan semangat serta kerja sama dan keberanian. Maka pikiran manusia di selubungi oleh ide, cita-cita tentang hal-hal magis, harapan, impian dari kepercayaan terhadap roh-roh , Illah-Illah yang berasal dari agama. Keyakinan agamis tak lepas dari perubahan atau evolusi sosial akan ketakhayulan yang telah berjasa (bermanfaat) dalam memberi rasa aman, ketata-tertiban pemerintahan adaptasi, pun berguna bagi memperkuat ikatan dan kelangsungan (kontinuitas) masyarakat negeri yang bernilai guna serta kemanfaatan keyakinan agamis yang amat besar, terutama bagi para elit penguasa demi kelanggengan kekuasaan di masa jaman kuno (dahulu), maupun bagi rezim-rezim otoriter agamis dimasa kini.

Bahkan dalam pandangan pragmatisme, bahwa agama dibentuk oleh pikiran kita, orang pada suatu kekuatan roh Illahi di luar wujud diri, tetapi Dia semata pikiran yang ada dalam diri. Lebih lanjut dalam kritik terhadap agama apapun, bahwa pertama-tama agama tumbuh dari kondisi kesadaran “rasa aman” sebagai representasi kultural atau budaya. Di balik itu ada anggapan, bahwa kepercayaan akan roh illah agama apapun adalah ilusi yang menopengi dan memboncengi kepentingan manusia yang sebenarnya, yakni “kehendak yang kuasa” dan dengan itu maka agama adalah pencerminan personifikasi kehendak pikiran manusia “pintar” akan kekuatan roh alam yang serba berkuasa, bahkan “Yang Maha Kuasa” dan wajib disembah dalam ketaklukan atau takwanya terhadap Sang Penguasa Alam.

Demi kehendak berkuasa dan demi kepentingan para elit raja-raja, guru, dukun spiritual, nabi-nabi, ulama dan sebagainya. Mereka dapat memanfaatkan segala “kekuasaan” roh batin gaib dari Sang Terang ataupun dari Sang Gelap. Tentang dampak resikonya dapat dilihat atau dinilai dari parameter buahnya, yaitu sing becik ketitik ala ketara. Roh batin gaib dari Sang Terang dan Sang Gelap keduanya setara dan penuh misteri. Bagi “kehendak yang berkuasa” roh Sang Gelap dapat di deteksi dari buahnya, yaitu menyelami misteri kerahasiaan dari pembusukan hati, serakah, benci, cemburu, murka, perilaku kelahi, angkuh hati, atau sombong, tak setia, dendam, benci, tak mengampuni, aneka hal kriminal yang menyengsarakan.

Anehnya sikap dan perilaku rivalitas atau perlawanan permusuhan agamis dunia selama berpuluh-puluh abad dan bergenerasi hingga sekarang ini, termasuk membanjiri di halaman desa, kota kita, banyak diwarnai oleh pola dan tendensi perilaku negatif, yang diskriminatif, amoral dan rebutan “kebenaran agama Allah yang mana paling benar dan paling berkuasa”. Maraklah perilaku emosionalitas Sang Gelap yang berbeda jauh dari subtansi roh keluhuran/ kesucian/ kedamaian / pengampunan dari roh Sang Terang yaitu intelegensi universal. Itu berarti bahwa para elit agama (bagaikan aktor intelektual) bersama umatnya dalam ketaklukannya menghambakan diri kepada batin gaib kegelapan.

Kesemua hal yang bersangkutan dengan misteri roh kegelapan selalu di sangkut pautkan dengan kekuatan magis/abstrak apalagi atas kaitan “absolutisme agamis” akan lebih membawa bangsa ini ke dalam “kabut” struktur pembusukan rasionalitas bagi rakyat. Bagi kita sendiri yang sadar punya otak sekali pun, juga sulit untuk memahami hal-hal yang konkrit nyata (indrawi). Kesulitan memahami realitas multidimensi kepurukan pada pengalaman kesulitan/ derita hidup negeri ini, selalu dalam tragedi tragis bergenerasi terus-menerus, tanpa henti berpuluh-puluh tahun (biarpun kita punya ribuan pakar ilmu dan ulama, agamawan yang canggih sekalipun).
Bangsa kita selalu dalam kabut kegelapan oleh pemahaman tentang hal-hal misteri penuh keajaiban alam, yang mana dirupakan oleh aneka makhluk serba magis bersifat imaterial di luar kesadaran akal/otak rasional kita, seperti misteri kehebatan magis tanpa tertandingi akan adanya kekuatan dari Illah-Illah, Dewa-Dewa, Makhluk gaib, Tuhan-Tuhan, Malaikat. Yangmana kekuasaan “makhluk roh” tersebut dalam keabadiannya ikut mengatur, mengendalikan takdir hidup negeri ini, yang selalu terpuruk oleh keterselubungan nafsu kepentingan agamis para elit kita.

Agama adalah buah dari hasil perenungan, pemahaman pikir manusia pintar (para dukun-dukun, ulama-ulama, pujangga, pandita, wali, nabi-nabi) kuno di jaman ribuan tahun yang lalu, yang mengatas-namakan kuasa dari para Dewa, Tuhan, Allah yang mereka sembah dalam iman dan takwanya. Pemahaman agamis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum nabi-nabi utusan Allah (batin gaib para nomaden Timur Tengah) berjaya, dimana komunitas orang-orang purba/primitif masih hidup di goa-goa, lembah, gunung, padang pasir dan sebagainya, diseluruh kawasan bumi termasuk di aneka pulau besar wilayah nusantara yang kita miliki ini.

Agama tidak bisa dilepaskan dari kerangka pikir dan kepentingan manusia kuno juga manusia jaman kini, sebagai keyakinan magis atas keyakinan primitif, serta esensi kepentingan religius mereka. Kepentingan asal-usul keyakinan primitif ditimbulkan dan direkayasakan serba misteri oleh para dukun, guru, ulama agamis, pendeta, wali, nabi, yang mentasbihkan dirinya dari “kuasa langit” sebagai tokoh sakral penuh kekuatan misteri magis monopolistik. Seperti gejala masa kini banyak tokoh-tokoh umat (para-normal, dukun, guru, ulama agamis, bahkan pakar-pakar selebritis) yang gemar mentasbihkan dirinya sebagai orang yang mempunyai “kekuatan lebih” yang secara langsung menciptakan opini publik atas esensi muatan illahiah bagi atas peran visi dan misinya.

Di jaman kuno dahulu pun demikian pula, sehingga opini publik masa itu dan kemudian masa kinipun, menjadi keyakinan bahwa sadar dalam kelestarian iman spiritualnya, atas kebenaran mutlak visi-misi agamis yang diperankannya. Kalau kita otak-atik terhadap keragaman keyakinan agamis umat sekarang ini (misalnya agama Timur Tengah) maka ada hubungan korelasi intim dengan habitat tradisi kuno primitif dengan kontruksi agama tempat asal mula “dilahirkan / diciptakan” dalam aneka kepentingan misteri serba magis, juga diwarnai oleh pola kepentingan politis keduniawian mereka, demi kepentingan sendiri.

Konstruksi agama tidak lepas dari aneka macam cara pandang rohaniah batin masyarakat yang beraneka habitat hidup dan pola tradisi atau kebiasaan yang dapat disimpulkan dari adanya bermacam-macam etnis, suku bangsa, maka tumbuhlah aneka corak ritual agamis sesuai buah budaya tradisi yang berkotak-kotak, dalam aliran, sekte atau mashab sehingga timbulah aneka perilaku agamis yang macam-macam, biarpun mereka menganut agama yang memproklamirkan dalam keyakinan kebenaran keilahian Sang Satu dan Mutlak, tidak ada duanya yang menyamai.

Kemutlakan (absolut) agama dirinya, mengandung makna bahwa wujud agamanya tidak mengenal dan proses terjadinya terbentuk dari kodrat alami (tak mengenal proses evolusi sebab akibat, karmapala, metamorfosis dll) tidak mengenal proses penilaian, evaluasi, pembuktian kembali, verifikasi, otokritik (kritik koreksi kontrol diri) terhadap kebenaran absolut agamanya dirinya, tak mengenal makna “kebebasan” pilihan atau alternatif oleh keyakinan serba ketakdiran Allah, Tuhan, agama-Nya, tak mengenal penemuan ”penciptaan baru” akhirnya mereka tak mengerti bagaimana makna “monisme absolut” akan jabaran arti dari daya kecerdasan para ahli agamis (ulama besar) dan implementasi perilaku imani mereka sendiri.

Agar disadari secara kritis, bahwa sikap kebenaran absolut agamis dirinya, beserta kepentingan hegemoni kekuasaan agama monopolistik dirinya pun pada dasarnya tidak beda dengan hakekat nafsu kepentingan visi dan misi ideologis dunia, yang ingin di akui keperkasaannya. Maka timbul pertanyaan kritis yang menggigit : “apakah nafsu kepentingan hegemoni agamis itu adalah politikasi kehendak dan memang bersumber dari Allah? “apakah membunuh, menteror, menfitnah terhadap yang lemah adalah pahala” kalau memang semua jawabannya iya, lalu di manakah makna retorika “kerahiman dan keadilan agamis Allah” yang selalu di slogankan dan menjadi jargon-jargon visi-misi jihad agamisnya? Kontraversi agamis dalam aneka perilaku kepentingan dunia, atas nilai dan sikap kebenaran absolutisme dirinya, pasti haram bagi proses verifikasi keilmuan dan kecerdasan rasio atas dimensi peradatan kemanusiaan universal, dan inilah barangkali hakikat “stagnasi” agamisnya.

Disadari bahwa semua proses penciptaan alam ataupun dari Allah Sang Pencipta terjadi melalui proses evolusi alam. Demikian pula agama apapun di dunia selalu mengikuti hukum gejala perkembangan alam. Agama mengalami evolusi perkembangan metamorfosis seperti proses: oleh tubuh dan watak dari kepompong menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Dari contoh metaformosis tersebut, maka substansi agama pada awalnya mengandung muatan magis, animistik, serba misteri, maka memberilah banyak Tuhan-tuhan, Dewa-dewi, malaikat, lalu timbul pemikiran atas peran atau fungsi ke-illahi-an baiknya di borong atau di monopoli kekuasaan yang absolut oleh Dewa, Tuhan, Allah saja, dengan menyampingkan aneka tugas Dewa-dewi, Illah, malaikat dsb.

Pemikiran spiritualisme monopolis, akan membawa pengaruh absurditas, absolutisme dalam the way of thingking dan the way of life umat agamis monisme absolut apapun. Sebagai jabaran kekuasaan monopoli dari pola kepentingan para Nabi, Raja, pemimpin umat dsb. Sebagai utusan Allah-nya, mereka menetapkan atas hak legal formal ketasbihan kewenangan kekuasaan dari impunitas serta kesakralan atau ke-magis-an bagi dirinya (Robertus Bonarto). Konsep agamis monis absolutisme (Maha Esa tiada duanya) membawa aroganitas spiritual dan mereka tidak mengenal berlaku hukum tata keadilan “pluralisme alam dalam dimensi kemanusiaan, atas konstelasi kesadaran atau pemahaman akan substansi realitas monodualisme dalam agamisnya”. Maka berakibat bahwa wujud realitas atau nuansa menjadi kesirikan, kebatilan, kemunafikan, kemusyrikan, pemberhalaan agamis dari umatnya sendiri. Sasarannya selalu di alamatkan pada minoritas yang kafir, sesat, bid’ah dan yang salah. Dimana justru menjadi korban diskriminasi dari sikap agamis monis absolutisme, dimanapun pelosok dunia termasuk di sekitar kita, bahkan diri kita sendiri.

Sedang dirinyalah yang paling benar, yang tidak tersadar oleh pukauan sufisme, ilusi kebenaran palsu, memabukkan yang sulit dibuktikan. Hal itu membawa mayoritas umat pada sikap arogansi eksklusif merasa dirinya yang paling benar. Absolutisme agamis manapun akan secara alami berevolusi atau ber-metamorfosis yang mengakibatkan terpecah, menjadi aneka mashab, sekte, aliran, dimana kegelapan saling berkonfrontasi bagi “menangnya antar mereka sendiri” (termasuk dalam diri atau kelompok agama dan kepercayaan sekarang ini). Dengan legal formal mereka melaksanakan diskriminasi (ketidak-adilan) kekuasaan-Nya terhadap semua umat atau orang non-agamis untuk melaksanakan ritualitas religi di dalam negerinya sendiri. Maka muncul suatu pertanyaan “dimanakah makna retorika rahmatan lil’alamin bagi pihak lain yang terkena aksi diskriminasinya?

Fenomena diskriminasi agamis dalam proses ruang dan waktu, akan ber-metamorfosis ke dalam segala segi struktur sistem penyelenggaraan negara, baik di aspek ideologi, sosial, budaya, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, plus aneka kebijakan birokratis yang diskriminatif. Dari kabut ketidak-adilan di segala tingkat penyelenggaraan kekuasaan di negeri ini, maka dapat dipahami resiko dampak keterpurukan di segala segi kehidupan sebagai tumbal derita rakyat yang berperan sebagai objek kekuasaan para elit penguasanya (Kompas, 23 Desember 2005).
Tendensi sistem negeri yang menganut absolutisme agamis Timur Tengah kuno, jelas berpola diskriminasi terhadap minoritas akibat aspirasi visi dan misi dominasi kepentingan agamis, sebab di dorong oleh perilaku otoriterian monopolistiknya. Hal itu pasti secara radikal berhadapan dengan sistem anti-tesisnya, yaitu sistem pluralisme yang dilandasi oleh rasionalitas kedaulatan rakyat yang terpinggirkan. Dari situ mulailah terjadi konflik (adu kekuatan, manakah sistem kekuasaan yang benar) antara pemikiran tesis (rezim absolut agamis) ataukah anti-tesisnya (sistem demokratis-sekuler) (Tribun Kaltim, 10 Desember 2005).

Akhirnya kita berani mengambil pilihan atau alternatif yang ada, sesuai kedaulatan kebebasan berpikir modern, dimana kita dikelilingi oleh arena pacuan kemajuan iptek dunia. Apabila kita memilih tetap ngotot (via jihad agamisnya) sebagai agamis yang berfaham monisme absolud (disahkan sebagai langkah legal formal dalam konstitusi), maka lestarilah keterpurukan kita. Hal itu boleh-boleh saja asal tahu dampak resiko di kemudian hari, untuk menjawab mampukah negeri kita ini hidup dalam arena kompetisi iptek dunia, yang berperadaban maju, maka hal itu sulit untuk diramalkan. Apabila kita ngotot melawan pengaruh kemajuan teknologi bangsa-bangsa maju di sekitar geo-politik nusantara, apalagi posisi kita di titik pusat persilangan antara dua samudera dan dua benua, maka dampak posisi lemah kita akan beresiko “koelies en een koeilie onder de natie” dan terhinalah masyarakat miskin kita (Seminar budaya, 20 September 2006 di Taman Budaya Kaltim).

Hal itu pasti akan langgeng, mengalami stagnasi yang sejalan dengan irasionalitas agamis dari tradisi habitat batin gaib Timur Tengah yang bukan asli milik kita punya. Dan itulah takdir absurditas iman agamis kita, sebagai konsekuensi logis dari keputusan politik para elit agamis yang pintar namun “keblinger lan ora pener”. Saya sebagai seorang anak Jawa dan oleh pendidikan yang berpaham Islam thasyawuf, telah membentuk menjadi individu yang ber-Tuhan namun berpikir bebas dari dogma fanatisme agamis. Kebebasan berpikir inilah yang mendorong dan mengarahkan saya pada minat memahami filosofi dari pengalaman sendiri maupun dari referensi yang saya temukan secara autodidak. Baru kemudian saya di tasbihkan menjadi penganut kejawen pada tahun 1999.

Memiliki pribadi ganda dalam satu jati diri, membawa suatu citra jiwani yang unik yang mungkin indah bagi diri saya sendiri. Namun bagi orang lain (yang patuh pada satu dogma agamis yang dianutnya secara fanatik) visiku adalah suatu ke-GILA-an bahkan dianggap sesat. Santai aja lagi..!!!.hahaha. Sebagai orang jawa yang umumnya memiliki spiritualitas serba mistik, animis panteistik, gemar berfantasi imaginer, otak-atik gathuk lan mathuk (olah pemetaan sintesis atau bisa dikatakan analisa sintesa sinkretisme demi menemukan yang bersifat wujud perpaduan baru dalam cara pandang visi hidup spiritual dan aneka gagasan atau konsep pemikiran) itulah jati diri saya.

Sebagai penganut kejawen, sikap mistikus kejawen yang tertanam melalui proses panjang dalam batin jiwa saya sebagai orang jawa, akan saya pertahankan dengan tetap berakar dalam tradisi budaya jawa. Sungguh tidak rela apabila orang setelah beragamis batin gaib Timur Tengah, lalu tercabutlah akar budaya tradisi “adi luhung” nenek moyang yang memancarkan nilai luhur falsafah “spiritual kosmologi”. Kemudian pribadi aslinya tidak sadarkan diri dari rekayasa, oleh pola agamis dan tercetak atau meng-copy kultur asing bagaikan habitat asli batin gaib nomaden.
Pribadi ganda yang unik ini, yaitu berpribadi jawa namun tetap bersandar pada sikap toleran, mengarah pada pencerahan akal budi pengerti dalam menapaki jalan hidup saya di jaman serba absurd, kompleks dan dikenal sebagai jaman edan sekarang ini, yang penuh ketidak-pastian namun pasti, serta ketidak-adilan bagi rakyat bangsaku yang terpinggirkan, oleh tata ketidak-adilan diskriminatif bernuansa agamis. Dalam iman kepercayaan kejawen, alam mengajarkan keseimbangan, sistem harmonisasi yang serasi dalam setiap gerak hidup semua makhluk. Kejawen tidak mengajarkan Tuhan itu ada di atas sana, bukan terlalu jauh atau sehingga kita tidak bisa melihat-Nya. Tritunggal adalah penyembahan jawa kuno; Bopo Angkoso, Ibu Pertiwi, serta Sukmo Sejati (dalam setiap hati suci individu atau manusia). Maka ajaran substansi manunggaling kawula gusti menjadi substansi kebatinan jawa.

Kembali pada konsep manunggaling kawula gusti dalam rutinitas kejawen (versi mistik bagi saya), bahwa hal itu akan terjadi bilamana setiap individu penganut kejawen (dalam hati yang bersih atau suci) selalu manunggal dengan khusuk menyambut dalam keintiman, yang mana mengandung falsafah spiritual kosmologi dan akhirnya manunggal menjadi satu kesatuan antara kawula kalawan gusti. Namun masih sangat disayangkan, prosesi ritual yang menimbulkan penyatuan alam dengan segala makhluk hidup dan yang memberi cerminan etika budaya jawa, agaknya masih merupakan rutinitas tahunan yang kita belum mampu menangkap makna yang mendalam dan mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian kita.
Penulis:
S. Jubaidi Djiwandono & Sukmoyorenggo
Penghayat Kepercayaan Jawa
Tinggal di Semarang

0 comments: